Membaca tulisan om Feri di Facebook hari ini, saat dia mengunjungi putranya di pesantren jadi ingat tulisan lama saya, yang judulnya TIRAKAT yang belum sempat terpublikasihan.
***
Suatu hari saat saya berkunjung di pondok tempat Nadia menghafal Quran beberapa waktu lalu.. seperti biasa Pak Ustadz (Demikian saya memanggil Kiayi tersebut) .. mengajak ngobrol ringan. Sampai kemudian beliau mengomentari salah satu teman Nadia yang pernah sama sama belajar ngaji di pondok tersebut saat mereka masih SD dulu.
Sebut saja namanya Melati, anak ini sangat pintar dan ngajinya saat itu lebih baik dari Nadia meski mereka seumuran. Saya ingat betul betapa ibunya Nadia sempat protes karena sampai kelas 4 SD dia baru sampai Iqro jilid 4, padahal Nadia mulai mengaji saat umur 3 tahun (playgroup). Sementara melati sudah bisa baca Qur'an dengan baik.
Seiring berjalannya waktu kami baru menyadari ternyata ponpes Tahfidzul Qur'an tempat Nadia belajar mempunyai standar tinggi untuk benar benar meluluskan seorang santri baik khatam bin Nadhor (mengkhatamkan Qur'an 30 juz dengan membaca) apalagi Khatam bil Ghaib/Hifdzi (khatam 30 dengan menghafalkan).
Mengapa saya katakan standarnya tinggi, karena banyak santri dari pesantren umum (yang tidak speaialis menghafal Qur'an) jika masuk pesantren tersebut meski hafalannya sudah belasan juz, pasti suruh mengulang dari awal, dan menurut pak ustadz banyak mereka yang sekedar menghafal tetapi makhraj dan tajwid serta parameter lainnya masih jauh dari standar ponpes tsb.
dugaan saya, karena ponpes ini setiap santri yang hafal 30 juz setelah diwisuda akan mendapatkan sertifikat sanad hafalan yang bersambung dari sang ustadz ke guru gurunya hingga Rasulullah s.a.w.
Kembali ke cerita melati tadi, selepas SD, melati ini sekolahnya putus nyambung, pernah sekolah, kemudian berhenti, ikut modelling (karena memang punya paras yang cukup cantik karena bapaknya orang turki) hingga beberapa kali ganti sekolah dan pondok.
Nah, dari penuturan sang ustadz beliau begitu prihatin dengan kondisi tersebut, bagaimanapun juga anak itu pernah jadi santri di pondoknya. Sampai akhirnya saya menyimpulkan dari pembicaraan dengan beliau bahwa semua itu karena juga "tingkah pola orangtuanya (dalam kasus melati, tingkah ibunya, karena orang tuanya sudah berpisah, bapaknya balik lagi ke turki sana)
Saya ingat betul beliau bilang kurang lebih,
".. bagaimana anaknya akan berhasil (menuntut ilmu) kalau orangtuanya KURANG TIRAKAT... "
Bulukannya saya sudau baik dan tak lepas dari dosa, dan tanpa mengurangi rasa hormat pada sang ibu si melati, saya melihat sendiri kehidupan sehari harinya kurang islami (misalnya dalam hal sholat, menutup aurat dan seterusnya).
Bagi saya meski perkataan pak ustadz tadi bukan untuk saya, tetapi itu semacam WARNING bagi saya saat mengharapkan anak kita baik, berhasil dan sukses kehidupannya maka mau tidak mau orang tua harus banyak tirakat atau berupaya sebaik mungkin menyelaraskan kehidupannya dengan keinginan dan harapan dia kepada anaknya.
Wallahu alam.
terima kasih nasehatnya pak
BalasHapusitu nasehat pak Kyiayinya Si Nadia .. saya cuma merangkumkan... :)
HapusPakdheee... Huhuhu. Ngingetin daku yang kurang tirakat untuk si K. ðŸ˜
BalasHapus