Tulisan ini bermula dari tulisan Pak Husnun Tentang
Penghulu di Kota Malang yang ditulis pada tanggal 17 Desember 2013 pada
akun facebook beliau. Namun tulisan ini bukan hendak menanggapi tulisan Pak
Husnun tersebut (tapi insyaAllah saya juga pengen nulis terkait polemik penghulu di KUA).
Tulisan saya kali ini hanya ingin menanggapi komentar yang
ada di tulisan Pak Husnun tersebut, khususnya beberapa komentar yang ditulisa
oleh akun yang bernama Sangaji
EM – Fokus tulisan ini terutama tentang pernyataan yang bersangkutan
terutama pada poin ini:
1.
“para penghulu kita itu Kualitas
Tauhidnya Belum sampai disana, Tauhid mereka tingkatannya masih sampai di
perut.”
2. Dan
Poin ini.. Korupsi berjamaah kok masih terus berlangsung
di DEPAG dan KAU, Gimana Allah mau menurunkan rahmatnya bagi negeri ini, wong
ustadz-ustadznya yang hafal dan mengerti ayat kok suka
korupsi, (yang ini di telah disunting tapi saya PUNYA
BUKTI nya)
YANG ASLI DARI POIN Ke
2 Itu Bunyinya:
Korupsi berjamaah kok masih terus berlangsung
di DEPAG dan KAU, Gimana Allah mau menurunkan rahmatnya bagi negeri ini, wong
ustadz-ustadznya yang hafal dan mengerti ayat kok MALING SEMUA (huruf
kapital dari saya)
adapun yang sudah diedit ini
Yuk,
kita bahasa poin pertama dulu
Ketika
yang bersangkutan mengatakan bahwa kualitas tauhid para penguhulu saya jadi
tergelitik menanggapi, karena saya baru kali ini mendengar PEMBAGIAN KUALITAS
TAUHID apalagi ukuran tingkatannya
memakai ukuran anggota badan. Hehhe.. ada-ada saja kawan kita yang satu
ini. Okelah kalo dia memang punya
paramater tersendiri dari Kualitas Tauhid seseorang, saya gak masalah, tetapi
melakukan Generalisasi atau bahasa
jawanya Gebyah Uyah itu yang menurut
saya tidak fair.
Tentu
melakukan tindakan gebyah uyah – dengan
menyatakan bahwa tauhid PARA PENGHULU – hanya sampai PERUT - bagi seorang
doktor (sesuai pengakuannya di sebuah komentar ) adalah TINDAKAN CURANG.
Mengapa
curang?
Saya
YAKIN kualitas tauhid seseorang – kalaupun ada seperti yang dia katakan tentu
TIDAK SAMA – dan dengan menggunakan pilihan kata PARA menurut kamus bahasa
indonesia adalah:
para 1 /pa·ra / p kata
penyerta yg menyatakan, pengacuan ke kelompok: (kbbi.web.id)
dengan definisi tersebut saya memaknai bahwa para penghulu (banyak orang
atau bahkan semua) memiliki kualitas yang sama dalam hal tauhid. Padahal dia
saya yakin BELUM PERNAH melakukan survai dan mengadakan penelitian tentang
penghulu yang ada di Indonesia. Kalopun
sudah penelitian, pasti akan dalam laporan hasil penelitiannya disebut PENGHULU
di KOTA XXX kualitas tauhidnya setingkat PERUT - bukan PARA PENGHULU (secara umum) di
INDONESIA kualitas tahuidnya ….. ! bisa mengatakan PARA kalau dia sudah
melakukan penelitian dengan samplingnya representatif – wah saya kira saya
tidak pantas memberikan penjelasan bagaimana melakukan sebuah penelitian kepada
seorang doktor, wong level saya cuma pesuruh.
Nah, lucunya lagi ketika saya tanyakan dalam komentar Sampai Level
Tauhid kawan kita ini?
Jawabannya malah kemana-mana alias OOT – heheh – ini saya kutipkan.
Tauhid kita itu harus sampai pada suka memberi
bukan suka menerima, itu yang diajarkan muhammadiyah kepada saya.
(ini versi yang asli ditulis sekitar jam 4 sore
tgl 17 Desember 2013) tetapi di sunting menjadi
Tauhid kita itu harus sampai pada suka
memberi baik diwaktu sempit maupun diwaktu lapang, bukan suka menerima, itu
yang diajarkan Islam, Qur'an dan Muhamamdiyah kepada saya
(ini versi editan
yang saya lihat pada 18 Desember 2013) tenang
saya punya buktinya kok heheh.
Versi yang diedit menjadi
Nah, tanggapan kawan kita yang OOT (karena
tidak menjawab pertanyaan saya) kali ini dengan membawa-bawa ormas islam
tentu sangat disayangkan. Mengapa?
Meski saya bukan dan tidak pernah mempunyai
kartu anggota Muhammadiyah, tetapi sejak SD sampai kuliah saya masih ngaji sama
guru saya yang juga pengurus muhammadiyah di Kota Lawang. Dan alhamdulillah
saya bisa ngaji membaca al quran juga berkat bimbingan guru saya tersebut. (Duh jadi ingat guru saya yang sangat
bersahaja tersebut yang saat ini berprofesi sebagai tukang parkir di belakang
ruko dekat hotel Niagara Lawang, semoga beliau senantiasa mendapatkan lindungan
dan keberkahan dari Allah SWT yang telah mengajarkan kami bisa membaca Al
Quran)
Kembali ke topik kita. Nah, karena sudah menyangkut-nyangkut
nama Muhammadiyah saya terus terang jadi prihatin jika dikaitkan dengan
komentarnya pada poin dua di atas yang menyatakan :
Korupsi berjamaah kok masih terus berlangsung
di DEPAG dan KAU, Gimana Allah mau menurunkan rahmatnya bagi negeri ini, wong
ustadz-ustadznya yang hafal dan mengerti ayat kok MALING SEMUA (versi
asli komentarnya sebelum diedit)
Ya, bagaimana tidak prihatin, kawan kita yang doktor ini
sekali lagi melakukan “gebyah uyah”
dengan mengatakan bahwa semua ustadz di DEPAK dan KAU (maksudnya KUA) adalah MALING !
Bagi saya ini tuduhan yang sangat berat, karena bagaimana
mungkin seorang doktor yang sudah melakukan penelitian ilmiah dalam
disertasinya bisa melakukan generalisasi yang fatal TANPA didukung datang
semacam ini?
Anehnya lagi ketika saya tanya datanya darimana bahwa SEMUA
ustadz di DEPAG tersebut MALING? Eh malah dijawab begini:
Datanya lihat audit
bpk, DEPAG itu laporan keuangannya sama sekali tidak bisa diberi pendapat yang
wajar.
Nah,
jadi OOT kan?
Udah begitu kawan kita ini tidak update berita, padahal dua
tahun berturut-turut laporan keuangan kemenang sudah mencapai WTP (WAJAR TANPA
PENGECUALIAN) – hehhe.. wah gawat neh kalo pak doktor yang suka melakukan
penelitian gak update berita gimana pernyataannya bisa dianggap valid?
Ya, kembali lagi ketika ditanya bukti tentang pernyataan dia
tentang SEMUA USTADZ di DEPAG MALING - malah menjawab ngalor ngidul ini yang
bagi saya bukan jawaban intelek.
Sangat memprihatinkan jika ada kader Muhammadiyah yang seperti ini pernyataannya,
dan sangat NAIF, karena sepanjang yang saya tahu bahwa ketua PDM Kota Malang
ADALAH PEGAWAI KEMENAG (DEPAG) - kakak
saya juga termasuk jajaran Pengurus PDM di Bojonegoro juag pegawai KEMENAG
(DEPAG) – dan setahu saya baik Ketua PDM
kota Malang dan kakak saya juga ustadz yang memberikan pengajian diberbagai
tempat.
Dengan pernyataan kawan kita yang doktor itu, artinya bisa
juga dia “MENUDUH” orang-orang muhammadiyah seperti yang dituduhkan.
Kalo mau diperpanjang lagi, rupanya kawan kita ini lupa kalo
ada Kader Muhammadiyah terbaik dari kota Malang pernah jadi MENTERI AGAMA –
pasti lah kenal beliau!
Tuduhan maling itu juga berimbas kepada sahabat-sahabat saya
di UIN Maliki Malang yang banyak diantara mereka juga berprofesi sebagai
ustadz. Mengapa begitu?
Ya, karena UIN MALIKI dan Madrasah Aliyah Negeri adalah dibawah naungan KEMENAG
(DEPAG)…
Subhanallah, sedih sekali saya mendengar tuduhan itu karena
saya tahu sahabat-sahabat saya itu adalah orang-orang yang baik dan semoga
Allah SWT memberikan keberkahan bagi hidup mereka.
Okelah saya kira tanggapan ini sudah cukup – semoga bisa
memberikan pelajaran bagi kita semua tentang bagaimana kita bersikap.
Sebenarnya juga saya ingin mengutip hadist atau alquran
karena kawan kita yang doktor itu dalam argumennya, tapi karena saya kira
terlalu mahal memakai dalil Alquran dan Hadist untuk menanggapi TUDUHAN TANPA
BUKTI dan OOT
Akhirnya saya mohon
maaf yang tulus kepada semua yang tidak berkenan dengan tulisan ini, saya hanya
ingin ini sebagai peringata bagi saya agar tidak gegabah dalam berkomentar dan
menjadi pelajaran berharga bagi saya agar tidak mudah menuduh orang lain tanpa
bukti.
Semoga Allah memaafkan segala khilaf dan memberikan petunjuk
pada kita semua…
Aamiin
PS:
“Dialog”
lengkap silahkan lihat di Catatan facebook Pak Husnun tanggal 17 Desember 2013
dengan judul, “Siasat Penghulu Tetap Menikahkan pada
Sabtu dan Minggu. (semoga
komentar-komentar saya dan yang bersangkutan tidak diedit atau dihapus)
Diskusi aslinya saya arsipkan dalam bentuk HTML dan PDF bisa diunduh via mediafire - ini
setahu saya, saudara-saudara kita di Muhammadiyah itu kalau mengutip Al Quran mesti berhati-hati. Coba kita perhatikan lagi kutipan ayat bapak doktor kita ini, Dua-duanya tidak lengkap dan dapat menyalahi artinya.
BalasHapusAyat pertama, beliau menulisnya: "kaburomaktan indallahi la taqulu ma la taf alun" padahal mestinya bunyinya "kaburomaktan 'indallahi ANTAQULU ma la taf alun" yang menurut pengetahuan sederhana saya, itu sudah merubah makna. Antaqulu = engkau mengatakan sedangkan La taqulu = engkau tidak mengatakan.
kemudian ayat yang kedua, beliau menulis "alladzina yunfiqu nafis sarra iwadrrah, Wal kadimal gaidh" sementara seingat saya semestinya seperti ini "alladzina yunfiquna fis sarrai waddarrai, Wal kadiminal gaidha wal 'afiina 'aninnass"
wallahu'alam, mungkin beliau kecepetan ngetiknya ya???