[Kepsek's Note # 29] Powel
Published
Sabtu, 10 November 2012
|
1 komentar
Hari raya Idul Adha 1433 H yang baru saja berlalu menyisahkan sebuah pelajaran penting bagi saya, terutama dalam hal perkambingan :D – Ya, pada saat jadi panitia penyembelihan hewan kurban kemarin, saya lumayan banyak belajar kepada seorang teman yang memang kerjaannya merawat dan memelihara kambing dan sapi. Satu pelajaran penting yang saya dapatkan adalah tentag mengenali ciri-ciri kambing yang memenuhi syarat untuk dikurbankan.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kambing yang boleh dikurbankan satu syaratnya adalah, sudah cukup umur, tandanya giginya sudah tanggal atau kalau dalam bahasa Jawa disebut “powel” . Kambing yag sudah powel ini mempunyai beberapa ciri, selain bekas gigi yang sudah tanggal, misalnya, bulu-bulu dibawah betis kaki belakang kambing biasanya warnanya coklat kemerah-merahan (pirang). Dalam bahasa becandanya teman-teman menyebut bahwa kambing tersebut sudah “baligh” atau sudah siap mengikuti kuliah “Big O” nya uda Hazil Aulia hahahaha.
Nah, kebanyakan kaum muslimin yang hendak berkurban tidak tahu ciri-ciri kambing yang sudah layak dan pantas – secara syariat – boleh dikurbankan, akibatnya mereka banyak ditipu oleh makelar (dalam bahasa jawa disebut blantik) atau pedangang kambing kurban yang pada bulan-bulan tersebut biasanya memang harganya cukup mahal.
Ya, ditipu!
Mereka beli kambing yang giginya belum powel, atau yang lebih kejam lagi para blantik yang curang pada musim seperti itu tega memotong gigi hewan yang dijualnya agar dikira powel. Teman saya menunjukkan seekor kambing gigi depannya hilang karena dipotong dengan tang, dan kami diminta membedakan dengan yang gigi powel yang alami.
“Kalo musim seperti ini banyak blantik yang peteng Pak,” jelas teman saya. Yang dimaksud peteng oleh teman saya adalah gelap mata melakukan apa saja dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang banyak disaat orang membutuhkan, atau memancing ikan di air keruh.
Saya benar-benar prihatin dengan orang-orang yang tega berbuat seperti itu.
Penjelasan teman saya tentang prilaku blantik memotong gigi kambing agar dikira layak untuk dikorbankan menurut saya mirip-mirip dengan prilaku beberapa pembelajar penulis yang akhir-akhir ini saya temui. Misalnya suatu ketika ada inbox masuk di akun FB saya
Orang X: “Tolong dong di like status atau note ku..” begitu pesannya
Saya: “Kenapa gak di like sendiri…?” jawab saya beberapa saat setelah melihat beberapa status dan catatan di akun FB-nya. Jujur saja saya enggan nge-like karena statusnya kadang Alay dan kadang ababil banget, begitu juga dengan tulisan di notenya
Orang X: “Pelit….!” Begitu dia membalas
Saya: “Wah saya sudah dituduh, tidak melakukan rugi…!” balas saya agak senewen
Orang X: “Jahat…!”
Saya sudah malas membalas lagi.
Selain pesan seperti di atas, juga sering saya mendapat Inbox yang isinya kurang lebih,
“Pak(de), tolong dong like note saya ini (sambil memberi link) – saya ikutan lomba…”
Dan saya pun jarang memberikan like pada catatan itu – kecuali bila memang tulisannya bagus.
Sahabat sekalian, menurut saya tindakan blantik kambing maupun teman-teman yang meminta di like status atau notenya tanpa mempedulikan status atau notenya bagus atau tidak adalah tindakan yang menurut saya “membohongi” banyak orang. Tidak hanya orang lain, tetapi bohong terhadap diri sendiri atau yang menulis status/note tersebut. Apalagi jika motivasi dari pencarian like sebanyak-banyaknya adalah demi mengejar kemenangan dalam sebuah lomba, maka saya merasa bahwa itu tindakan yang curang.
Akan tetapi sangat sayang sekali, ketika saya mengingatkan mereka yang inbox saya mereka sering salah paham dan cendurung marah dan tersinggung. Akhirnya saat ini saya biasanya membiarkan saja tanpa merespon apapun permintaan semacam itu.
Sahabat sekalian, dalam bidang dan karir apapun, kredibilitas kita adalah hal sangat penting. Kita tidak bisa berpura-pura dengan mengkarbit – seolah-olah tulisan dan karya kita sudah bagus dengan mengundang banyak orang untuk berkata bagus atau memberikan testimoni yang positif tentang karya kita, padahal kita sendiri belum layak mendapatkan pujian dan testimoni yang berlebihan.
Pujian, testimoni positif memang penting tetapi lebih penting lagi bahwa ada orang yang dengan jujur memberikan umpan balik untuk perbaikan karya kita di kemudian hari, meski kadang umpan balik itu lebih menyakitkan daripada pujian .
Ya, karena pujian kadang-kadang membunuhmu!
Bukankah begitu
Pak(de) Komen saya tolong di Like yachhh.. Saya enggagh Alay kogh.. Beneran ini, ciyuz.. Akooh itu tidakh 4L4Y..
BalasHapus