Suatu hari salah seorang teman di kantor mendatangai ruangan saya. Saya kira untuk urusan kerjaan, tetapi ternyata dia Tanya tentang pesantren-pesantren khusus tahfidz Quran yang ada di Lawang.
Kalo pesantren A gimana Mas? dia tanya saya.
Saya menjelaskan sekedar yang saya tahu.
Kalo pesantren B apa juga sama?
Lagi-lagi saya jawab sepengetahuan saya saja.
Kalau antara A dan B santrinya banyak mana?
Saya jawab bahwa yang pesantren A lebih sedikit nggak sampe seratus sedangkan pesantren B santrinya sudah seratus lebih.
Memang kenapa sih Pak kalo muridnya banyak? gentian saya yang bertanya
"Gini lho mas, saya punya sepupu, dia itu mondok di pesantren jombang sana, santrinya ribuan, setelah tiga tahun lulus saya Tanya berapa kali kamu bisa ketemu dan bersalaman dengan Pak Kiyai pimpinan pesantren. Dia njawab selama tiga tahun dia cuman 2 kali saja bisa salaman dengan Pak Kiayinya. Nah saya nggak suka yang gitu itu"
Maksudnya gimana Pak? saya masih nggak ngeh.
"Ya kalo santrinya banyak khan perhatian dari pendiri khan berkurang pada anak kita, dan yang lebih penting lagi, doanya buat anak saya nanti cuman sedikit."
Oo gitu.! Saya mulai paham maksudnya
Sekarang sampean bandingkan, kalo santrinya sedikit, saya yakin pak kiayinya akan bisa mendoakan santrinya satu persatu, sedangkan kalo banyak khan nggak cukup waktunya. Ya gampangannya aja kalo kiayinya satu dibagi dengan santri 50 dan 200 khan dapatnya lebih banyak yang 50 tho?
Lagi-lagi saya cuman mengangguk .
Saya jadi teringat dengan cerita temen saya, dimana gurunya dulu di pesantren sangat bangga dan bahagia sekali saat mengetahui keberhasilan para santrinya.
Kenapa?
Karena dia senantiasa mendoakan santri-santrinya agar menjadi orang berhasil dan bermanfaat bagi ummat. Mengingat dialog dengan teman saya tadi, saya sering tercenung. Baik sebagai seorang guru ataupun sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak saya
Pertanyaan yang sering bergelayut adalah:
Seberapa sering dan seriuskah saya mendoakan para murid saya agar berhasil, mengingatnya dalam doa-doa saya.. ah. Hampir tidak pernah!
Duh saya jadi malu mengingat itu semua.
Apakah ini yang membedakan guru saat ini dengan guru-guru pada masa lalu yang senantiasa ikhlas mendidik muridnya, mencurahkan cinta dan kasih sayang serta doa-doanya buat mereka. Atau karena ini pula, anak-anak didik sekarang seolah tak ada hormat pada guru-guru mereka.
Karena guru-guru mereka juga tidak menghormati mereka dengan baik sebaagi seorang murid yang mendapatkan hak untuk tidak sekedar ditransferi ilmu, tetapi dibimbing jiwa dan akhlaqnya menjadi manusia yang baik?
Apakah begitu?
Semoga, saya dan anda diberikan kekuatan Allah menjadi guru dan juga orang tua yang dengan ikhlas dan penuh cinta mendidik murid-murid dan anak-anak kita dengan tulus agar mereka tumbuh menjadi orang-orang yang juga santun dan membawa rahmat bagi lingkungannya.
Mungkinkah hal itu?
InsyaAllah!
Memilihkan Sekolah Buat Anak !
Published
Minggu, 27 Maret 2011
|
0
komentar
Tidak ada komentar: